Judul Buku : Musyawarah Burung
Judul asli : Mantiqu’t Thair
Penulis : Faridu ‘Din Attar
Cetakan : III, Januari 2001
Penerbit : PT. Dunia Pustaka
Burung-burung di seluruh dunia berkumpul dalam satu tempat, mereka mengadakan suatu konferensi besar para burung. Ada Hudhud, Nuri, Ayam Hutan, Elang Mulia, Merpati, Merak, Feniks (Phoenix) dan sebagainya, semuanya berkumpul dalam satu perkara besar yang harus segera mereka pecahkan.
Mereka berkata, “Tiada negri di dunia ini yang tak memiliki raja. Maka bagaimana mungkin kerajaan burung-burung tanpa penguasa?!” Ya, melalui musyawarah itu mereka tengah mencari siapa yang berhak menjadi raja atau pemimpin di antara burung-burung di seluruh dunia. Maka tak ayal, konferensi itu menjadi perdebatan alot di antara para burung dan adu argumentasi yang dimulai oleh Hudhud pun tak dapat dihindari.
Mantiqu’t Thair adalah karya sastra klasik, salah satu buku yang sudah sejak lama aku cari. Aku mengenal buku ini sejak dipesantren dulu. Sebenernya hanya berupa pemaparan dari ustad bahwa ada buku yang berjudul Mantiqu’t Thair karya Faridu ‘Din Attar. Rasa penasaran untuk membaca terus ada hingga akhirnya pupus setelah aku berhasil menemukan buku tersebut di antara jajaran buku-buku di lemari Perpustakaan Daerah (Prov. Banten).
Musyawarah Burung yang ditulis pada tahun 1184-1187 ini merupakan buku yang diterjemahkan dari ‘The Conference of the Birds’ terjemahan C.S Nott dari judul aslinya Mantiqu’t Thair. Entah kenapa dalam versi Bahasa Indonesia ini tidak diterjemahkan langsung dari buku aslinya Mantiqu’t Thair. Hm, mungkin karena penerbit tidak medapatkannya naskah aslinya.. =0
Musyawarah Burung adalah karya sastra yang berisi ajaran-ajaran sufistik, bahkan dalam penggunaan kata-katanya sarat akan istilah atau metafor-metafor yang biasa digunakan oleh para sufi dalam karya sastra. Buku ini terdiri dari tiga Bab, yaitu: Madah Do’a, (yang berisi doa dan ungkapan-ungkapan pembuka dari Faridu ‘Din Attar), Burung burung berkumpul, (menggambarkan bermacam-macam burung yang akan turut serta dalam musyawarah), dan Musyawarah burung (tentang proses pencarian sang Raja).
Membaca Mantiqu’t Thair bagiku tak ubahnya dengan membaca Hayy Ibn Yaqzhan karya Ibnu Thufail. Karena keduanya sama-sama menjelaskan tentang ajaran-ajaran filsafat dan sufistik melalui cerita, terlebih lagi baik Ibnu Thufail maupun Faridu ’Din Attar, keduanya menggunakan hewan dalam cerita mereka. Faridu ‘Din Atthar dengan Burung dan Ibnu Thufail menggunakan kancil. Yang membedakan adalah, karya Ibnu Thufail seutuhnya hanya berfokus pada satu cerita tentang anak yang dibesarkan oleh kancil, sementara karya Faridu ‘Din Attar memasukkan kisah-kisah yang terkait dengan ‘hal yang sedang dimusyawarahkan oleh para burung’. Seperti memasukkan kisah para nabi, sahabat, sufi atau darwis, bahkan kisah Laila Majnun dan fabel sufistik.
Pada intinya, Mantiqu’t Thair mengajak kita kepada suatu keyakinan dan kesadaran total bahwa jiwa kita tergenggam oleh satu kekuatan Yang Maha Besar, Raja dari segala raja, dan Kuasa Yang Mahakuasa, yaitu Allah SWT. Karena burung-burung yang tengah bermusyawarah dalam Mantiqu’t Thair ini sejatinya adalah gambaran dari manusia-manusia yang tengah mencari Tuhannya. Karena kehidupan ilahiah atau transedental inilah yang sebenarnya menjadi pokok ajaran para sufi, sehingga itu yang mewarnai karya-karya para sufi.
Faridu ‘Din Atthar sendiri adalah ulama dan sufi besar yang hidup pada pertengahan abad keduabelas, tepatnya pada tahun 1120-1230. Beliau disebut sebagai salah satu guru dari Jalaluddin Rumi. Walau tidak banyak berpengaruh pada ajaran-jaran yang dilahirkan oleh Faridu ‘Din Atthar, namun berdasarkan beberapa riwayat, Rumi dan Faridu ‘Din Attar memiki ikatan yang kuat.
Faridu ‘Din Attar menutup kisah Mantiqu’t Thair dalam Akhirul Kalam, dengan suatu penegasan: O, kau yang telah melangkah di jalan kemajuan batin, jangan baca bukuku hanya sebagai karya puisi atau sebagai buku sihir, tetapi bacalah dengan pengertian; dan untuk itu, orang harus lapar akan sesuatu, tak puas dengan dirinya sendiri dan dunia ini. Ia yang tak mencium wangian pembicaraanku belum lagi menemukan jalan para pecinta. Tetapi ia yang mau membaca ini dengan cermat akan menjadi giat, dan akan layak menempuh Jalan yang aku bicarakan itu.
Bila seseorang sedingin es membaca buku ini, ia akan memancar bagai api dari dalam tabir yang menyembunyikan itu daripadanya. Tulisakanku memiliki keistimewaan yang mengagumkan—ia akan memberikan lebih banyak manfaat sesuai dengan bagaimana cara membacanya. =0… ??
Selamat Membaca! =)