Perbuat Apa yang Bisa Diperbuat karena Diam Bukan Pilihan!
Senin, 30 Maret 2009
Satu sore aku berjalan-jalan mengitari danau itu, airnya tenang dan suasananya menyejukkan... Dua sore aku kembali ke danau itu, airnya ganas dan suasananya mencekam..!! O, Situ Gintung telah berubah!
Malam ini aku baru tiba dari Situ Gintung...
Ada perasaan haru dan sedih, namun ada kebahagiaan juga yang menyelimuti karena bisa berbuat... Sejak Situ Gintung memakan korban pada Jum’at (27/3), atau tiga hari lalu, aku selalu ‘gregetan‘ untuk sesegera mungkin dapat melihat dan berbuat bagi mereka yang terkena musibah. Ya, karena jarak Situ Gintung dan kosan cukup dekat, tidak lebih dari satu kilometer, bahkan danaunya terlihat jelas berada tepat di belakang kampus.
Namun rasa ‘gregetan‘ itu harus aku pupuskan untuk beberapa hari, karena aku masih berada di rumah ketika situ Gintung itu mengalami musibah. Dan hal lainnya karena sehari sebelum musibah itu terjadi, aku baru keluar dari Rumah Sakit setelah lima hari dirawat. Tapi kemudian aku pikir tidak menjadi hal bodoh yang aku lakukan jika hari ini atau tepat empat hari sejak keluar dari Rumah Sakit, aku dan Fajar membantu warga Situ Gintung membuat aliran air di samping rumah salah seorang warga dengan menggunakan pacul, sekop dan alat penggali lain. =0
Masuk ke Situ Gintung
Hari Senin jam dua siang itu cuaca tidak begitu terik, langit Ciputat justru tampak mendung seperti hari-hari sebelumnya. Aku dan Fajar dalam perjalanan menuju lokasi bencana Situ Gintung, atau tepatnya menuju kampus UMJ yang menjadi posko utama bencana Situ Gintung. Turun dari angkot, kami berjalan masuk menuju lokasi, tapi ternyata jalan masuk ditutup untuk umum dan dijaga ketat dengan sebuah tulisan diacungkan oleh salah seorang penjaga: “Sedang ada evakuasi korban!“.
Bingung, kami mencari jalan lain agar bisa masuk. Lagi-lagi ditutup!
Memang sejak tanggulnya jebol dan memakan korban jiwa hingga angka seratus, Situ Gintung menjadi fenomena, dan aku tidak menyangka dalam hitungan jam seluruh warga Indonesia tahu tentang Situ Gintung. Sehingga aku melihat sendiri ratusan orang berbondong-bondong ingin melihat secara langsung lokasi bencana.
Akhirnya aku dan Fajar masuk melalui sebuah gang kecil, aku pikir ini yang memungkinkan untuk menuju lokasi bencana. Lalu aku melihat banyak posko yang berdiri di sekitar rumah warga, posko dari organisasi masa, media, organisasi mahasiswa, produk, dan banyak lagi. Di posko kesehatan UIN aku melihat ada Sobir (teman kosan lama), kami sempat bertegur sapa namun segera aku dan Fajar melanjutkan perjalanan menuju lokasi lebih dekat lagi. Dan baru beberapa langkah berjalan, rupanya jalan menuju lokasi di sekitar itu juga dijaga cukup ketat! Bahkan salah seorang penjaga mengumumkan melalui speaker: “Kepada masyarakat yang ingin masuk ke lokasi, lebih baik pulang saja...“
Ah, aku terpatung bersama Fajar karena lagi-lagi tidak bisa memasuki lokasi.
“Gimana Jar?“
“Kita ke posko aja baL, minta masker ma sarung tangan ke Sobir“
“Ok tu, ne gw coba sms aja dulu“
Sms balesan sobir: Kadieu we bal (ke sini aja bal!)
Setelah bangga bisa mendapatkan masker dan sarung tangan, kita masih bingung karena tidak mempunyai tanda pengenal sebagai tiket masuk. Uh…
“Jar ambil pacul itu aja jar biar bisa masuk”, aku menunjuk beberapa pacul di posko PKS di samping jalan masuk yang tampak hanya menjadi pacul2 pajangan.
“Pak kita butuh pacul untuk dibawah”.
“O, silahkan.. Dari mana ini??”
Kita Bingung!
“Dari posko atas pak“ seruku.
“Atas yang mana ya??“
“........“
“UIN pak“
“O, ya silahkan, silahkan…“
Tampaknya Bapak ini juga bingung siapa kita.
Hahahahaha….. =D
Masuknyalah awak bareng Fajar, tapi lewat samping jalan masuk yang kadang lengah tidak terlihat oleh penjaga. Tapi rupanya penjagaan itu berlapis, ada penjaga lagi setelah melewati yang pertama. Dengan tampang cuek, bermodal masker di mulut, sarung tangan dan pacul dijinjing aku dan fajar masuk, dan rupanya kami diteriaki salah seorang penjaga melalui speakernya: “Nah, kalo bawa pacul boleh masuk…!!”
Hahahahaha…. =D
Beberapa langkah setelah masuk, akhirnya kami bisa melihat langsung bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh Situ Gintung setelah menjadi bencana. Walau di sini hanya terjadi sedikit kerusakan, tapi cukup memilukan…
Dan tak berapa lama, aku dan Fajar bergabung bersama warga dan relawan yang sedang membersihkan jalan, menggunakan pacul kami membuang lumpur dari jalanan ke pinggirannya. Hanya sekitar 5 menit, aku lantas mengajak Fajar untuk masuk lebih dalam lagi ke lokasi bencana. Pertama karena kami ingin lebih jelas melihat dampak bencana, dan kedua karena mungkin warga di dalam lebih membutuhkan bantuan.
Menjadi pemandangan absurd bagi orang lain yang melihat kami.
Manusia gendut bersama kawannya menggunakan masker dan sarung tangan berjalan-jalan di sekitar lokasi bencana sambil menenteng pacul. Hanya berdua! Relawankah?? Hehehe...
“Dut, kita kayak orang bego jalan-jalan gini, bawa-bawa pacul ga jelas mau macul apaan“
“Hehehe…” gendut Fajar cuma nyengir.
“Sok banyak ide pula kita ni dut, pake masker, sarung tangan ma pinjem pacul biar bisa masuk, kaya iklan A Mild ya yang banyak ide ya??!…”
Hahahahaha…=D Ngakak kita…..!!
Kami terus berjalan, melewati kampus UMJ, melewati penjagaan lapis berikutnya, melewati garis polisi, melewati tiga rumah warga…. dan,
Ow..
Sebuah pemandangan terhampar jelas di depan mata. Bencana Situ Gintung!!
Seperti sebuah lapangan yang rusak, datar dan rata dengan tanah, tak ada bangunan atau pohon yang berdiri, kecuali pohon pada sisi-sisinya… sebuah aliran sungai kecil terbentuk dengan airnya yang hitam... Itulah aliran air dari Situ Gintung... Aku tak bisa membayangkan bagaimana ketika tepat musibah itu terjadi.
Kami terus berjalan diantara puing bangunan, mendekat menuju jebolnya tanggul Situ Gintung sambil masih menenteng pacul dan memakai masker! Tiba-tiba kami mencium bau menyengat, mungkin bau mayat... Kami mendekat menuju beberapa orang yang berkerumun menyaksikan dua orang relawan yang sedang menusuk-nusuk tanah dengan kayu yang cukup panjang. Mereka memang sedang mencari tahu apakah bau itu berasal dari korban yang belum ditemukan. Lantas aku berpikir, “Seperti inikah bau mayat??“
Tapi tak lama kemudian kami berjalan kembali menuju tanggul Situ Gintung yang pecah. Dan tak berapa jauh dari lokasi yang menimbulkan bau menyengat, beberapa orang dari arah rumah-rumah yang selamat dari bencana memanggil,
“Mas, mas!! Mau kemana???! Di sini aja maculnya bantuin kita...??!!“
“Jar, ayo jar ke sana“ seruku pada Fajar.
“O, ya bang...!!“ jawabku pada beberapa orang yang memanggil tadi, tampaknya mereka sedang membersihkan puing-puing. Jaraknya sekitar 40 meter dari tempat kami berdiri.
Kami sebetulnya kaget kenapa mereka berteriak memanggil, ternyata aku dan fajar nyaris lupa kalau di tangan kami tergenggam pacul...!! Hhahaa.. :D
“Ini mas bantuin kita buat aliran air, jadi penyakit kalo air di sini ngegenang, kalo nunggu deco lama. Tadi mau ke mana emangnya mas?“. Jelas mereka setelah mendekat. (Deco: mobil pengeruk puing2-red).
“O, ya bang. Tadi, kita mau ke arah tanggul. Ya..nyari apa yang bisa dibantu. Ya kita bantuin di sini aja bang“.
Maka aku dan Fajar bersama sekitar empat orang warga mulai menggali tanah membuat aliran air di dekat rumah-rumah warga yang selamat dari bencana.
“Jar, ini nih yang gw pengen, baru kerasa bantuin warga Situ Gintung kalo terjun langsung kayak gini daripada di posko.“
“Yoha... gw juga mikir gitu cuy!!“
Sedikit demi sedikit tanah di antara puing-puing yang hancur kami gali, dengan maksud akan terbentuk aliran air dari rumah2 warga yang selamat.. Aku sendiri terus berusaha mengumpulkan tenaga baru di antara jengkal tanah yang aku gali, berharap dapat membantu semaksimal mungkin karena tenagaku sepertinya belum cukup pulih karena tersita di rumah sakit 4 hari lalu.. Sambil mencangkul, sesekali aku dan Fajar menanyakan pada warga yang selamat tentang musibah ini, “Mas, gimana kejadianya...?? Mas lagi dimana waktu kejadian??“ dll. Itu tidak tampak seperti tanya-jawab, karena kami sama-sama sedang memacul.
Di antara letih yang terasa, aku merasa bersyukur masih menjadi manusia yang diberi umur panjang, saudara2 lain di tanah Gintung ini ada yang lebih dulu dipanggil Tuhan... Innalillahiwainnailaihi raji’un...
Di antara pekerjaan itu kami juga sesekali minum dan melahap sebungkus roti bantuan dari relawan lain, menjadi kebahagiaan yang luar biasa bisa berada di antara warga dan bergotong royong bersama-sama... Tapi hari mulai senja ketika galian aliran air mulai terbentuk dan bisa mengairi air. Saat itu sudah pukul 5 sore, atau sudah sekitar 3 jam kita memacul. Akhirnya kita semua sepakat untuk mengakhiri pekerjaan. Tapi sebelum pulang, kami semua diharuskan makan terlebih dahulu. Maka sebungkus nasi dengan lauk yang diberikan oleh relawan-relawan menjadi pelengkap kebahagiaan kami sore itu. Di antara relawan dan warga yang tengah makan nasi bungkus, hadir juga pak RT, beliau menjadi ketua RT 01 di Gintung. Ketika subuh sebelum musibah terjadi, belaiu dikabari oleh salah seorang warga bahwa Situ Gintung akan jebol. Maka dalam keadaan langit yang gelap, beliau membangunkan warga2 Situ Gintung yang sempat ia bangunkan. Untuk sesaat Pak RT ini adalah pahlawan bagi warga Gintung.
Di tengah lahapnya nasi bungkus yang kami makan, pak RT nyeletuk, “Emang kalo udah capek, makan itu nikmat dengan apa aja...“. “Hhehe...iya pak!“.
Senja tiba, aku dan Fajar berpamitan...
Sebelum meninggalkan Gintung kami ingin lebih dekat mengetahui lokasi jebolnya tanggul. Maka Aku dan Fajar berjalan menuju pusat jebolnya tanggul Situ Gintung. Di antara reruntuhan bencana, aku lihat tidak sedikit manusia yang berkungjung ingin menyaksian musibah ini. Bahkan tidak sekali melihat manusia-manusia yang datang ke lokasi hanya untuk foto-foto. Mungkin bagi mereka itu kebanggaan! Tanpa sadar kebanggan itu dibayar oleh seratus lebih orang yang meninggal akibat bencana ini...
Suhanallah..
Besar sekali jebolnya penahan danau Situ Gintung itu. Sementara di belakangku masih berdiri tegak sebuah masjid yang tidak rusak oleh air bah dari Situ Gintung. Subhanallah..
Merasa cukup melihat keadaan yang sesungguhnya dari musibah Situ Gintung, aku dan fajar pun akhirnya meninggalkan lokasi dengan kembali menyusuri puing-puing bencana yang sudah tampak seperti sebuah lapangan tak terawat. Sebelum keluar lokasi, kami tak lupa mengembalikan pacul yang kami pinjam dari posko PKS, tapi ya pasti bisa dimaklum, pacul kembali dalam keadaan yang tidak utuh alias gagang dan besinya terpisah... He,
Di ujung gang keluar dari lokasi bencana Situ Gintung di mana berlalu-lalang kendaraan, aku dan Fajar yang masih menggunakan masker dan berpakaian sangat kotor, sesaat tampak seperti artis yang diperhatikan oleh orang-orang dari kendaraan mereka. “Wah... ada artis tu dari Situ Gintung...“ begitulah mungkin teriak salah seorang penumpang angkot yang melintas di depan kami. Hhe...
Wajarlah karena memang bencana Situ Gintung sangat menyedot perhatian masyarakat luas, dan tidak semua orang mendapat akses masuk menuju lokasi, sehingga siapapun yang terlibat dalam bantuan Situ Gintung menjadi sorot perhatian. Saat itu padahal kami berdiri di depan gang hanya untuk sedikit berdiskusi konyol, “Angkot yang mana ne Jar yang kita naikin???“ He.
Di kosan...
“Cuy, ada kamera??? Gw lupa ke Situ Gintung ga bawa kamera, pinjem donk ne mumpung masih kotor-kotor, mu gw post di blogs cuy.... Ciiessstttt....!!!